Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 12 Februari 2014

Gotong Royong

Selasa, 11 Februari 2014

GOTONG ROYONG

Airlangga Amerta Inc.

Juni 12, 2012
Kami Melayani pelanggan untuk berhemat, mendapat keperluan yang tepat dan diantar sampai di tempat.Kami adalah usaha bisnis sivitas akademika Universitas Airlangga. Kami menjalankan prinsip-prisip bisnis sesuai dengan nilai-nilai yang seharus nya ditegakkan oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat Gotong – royong (nilai-nilai Pancasila), dengan memegang teguh kejujuran, keterbukaan dan multi-kultural agar kompak bersatu menuju masyarakat sejahtera jasmani dan rohani di era globalisasi. Bisnis kami memberi pelayanan kepada masyarakat baik di bidang edukasi, konsumsi, trasportasi dan komunikasi maupun rekreasi. Kami akan berusaha memberi pelayanan yang terbaik agar masyarakat dapat terpenuhi keperluanya secara hemat, tepat dan sehat.
melaluiAirlangga Amerta Inc..

PENDIDIKAN PANCASILA: MEMBANGUN MASYARAKAT GOTONG ROYONG MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI INDONESIA

Mei 8, 2012
Oleh Ajar Triharso[1]

Konflik Ambon ke dua dan terakhir bom bunuh diri di kota Solo hari Minggu 25 September 2011 serta konflik-konflik yang telah terjadi sebelumnya antar suku, antar kampung, antar pelajar dan antar mahasiswa dan munculnya Negara Islam Indonesia (NII) menunjukkan bahwa usaha membangun kebersamaan atau dalam istilah populer dengan sebutan menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia berdasarkan ideologi Pancasila selama ini belum berhasil dengan baik. Ibarat gejala patologis dalam tubuh bangsa Indonesia, sumber konflik yang terjadi dalam hubungan antar agama, suku dan ras dapat dikatakan merupakan penyakit bawaan yang sudah sejak sangat awal disadari oleh para founding fathers namun selalu kambuh karena antibodi yang berupa nilai-nilai Pancasila tidak terimplementasikan dengan benar akibat usaha terapi kebijakan yang tidak menyeluruh alias hanya tambal sulam (incremental).
Pancasila yang sudah diyakini bersama sebagai falsafah dan ideologi pemersatu bangsa, dengan meminjam kata-kata Yudi Latif merupakan “mutiara-mutiara pemikiran brilyan” yang terkandung dalam Pidato Ir. Sukarno 1 Juni 1945 yang disepakati oleh para founding fathers peserta sidang BPUPKI dalam rangka revolusi bangsa Indonesia. Revolusi dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka. Pidato bersejarah tersebut secara kolektif di antara anggota BPUPKI adalah apa yang dalam terminologi Foucault sebagai hasil “tindakan epistemologis” dalam rangka formasi diskursus perumusan dasar negara Republik Indonesia.[2] Namun ternyata dalam implementasinya menghadapi berbagai kendala terutama dari ideologi-ideologi lain yang sejak semula juga sudah disadari untuk menjadi alternatif  bagi Pancasila.

RINDU PANCASILA
Selama era reformasi bangsa Indonesia telah mengalami berbagai fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara yang problematis. Pembangunan demokrasi serba kebablasan, lemahnya penegakan hukum, merajalelanya korupsi dan kriminalitas, hingga kemiskinan dan berbagai masalah lainnya yang tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita reformasi. Dalam arus deras gloalisasi, bangsa Indonesia juga disibukkan oleh beberapa fenomena: pertama, fenomena faham neoliberal dengan tuntutan tata-laku negatif individualisme, pasar bebas, konsumerisme, hedonisme dan ketimpangan ekonomi; kedua, fenomena faham primordialisme, dalam kondisi alami bangsa Indonesia yang multi etnis dan kultural, dengan tata-laku negatif daerahisme, sukuisme, rasisme dan separatisme; dan ketiga, fenomena faham sektarianisme dalam masyarakat multi agama dengan mayoritas beragama Islam, dengan tata-laku negatif eksklusivisme, radikalisme Islam seperti terorisme dan akhir-akhir ini yang cukup mengejutkan adalah munculnya fenomena Negara Islam Indonesia (NII) (Slide 1).[3]
Dengan munculnya isue NII, bagi bangsa Indonesia seperti tersadar oleh mimpi buruk dari tidur nyenyak dalam buaian ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang menjadi ideologi dominan di dunia pasca perang dingin  seperti dituturkan oleh Fukuyama. Namun ternyata ramalan Huntington tentang benturam antara peradaban Islam dan Kristen juga menjadi terbuktikan dengan keberadaan gerakan radikal Islam seperti gerakan Osamah bin Laden dengan Al Qaedahnya di peringkat global dan Jamaah Islamiah (JI) NII di Asia Tenggara dan Indonesia. Keberadaan NII menjadi menyentak dan mengagetkan serta mencekam masyarakat di antara berbagai ekses dari jalannya reformasi yang tidak sempurna. Gerakan NII menjadi lebih mencekam dibanding terorisme, seperti bom Solo, yang lebih konkrit dan selama ini menjadi tugas Densus 88 untuk menanganinya. Gerakan NII ternyata lebih halus dan sistemik  dalam membentuk jaringan untuk menjadi alternatif (subversif) dan perpindahan kesetiaan masyarakat (hijrah) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).[4]
Dalam era globalisasi pasca reformasi ternyata faham-faham dan ideologi-ideologi alternatif dan predator Pancasila yang patologis terhadap jatidiri bangsa Indonesia semakin hari semakin mendapatkan habitat subur di bumi Indonesia, karena samakin banyak masyarakat, khususnya generasi muda, yang termarjilasisasi dari ideologi negara dan nilai-nilai budaya bangsa akibat dari sistem pendidikan karakter atau kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat dalam berbangsa dan bernegara yang kurang tepat. Sehingga kerinduan masyarakat kepada Pancasila semakin kuat dan muncul pertanyaan tentang proses pendidikan ideologi nasional Pancasila dalam rangka pengembangan kepribadian di masyarakat dan dunia pendidikan selama ini. Karena Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa ternyata justru terpinggirkan dalam kurikulum pengembangan pendidikan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat dalam sistem pendidikan nasional.[5]

SOSIALISASI PANCASILA SECARA SISTEMATIS
Setelah reformasi 1998 BP7 sebagai lembaga yang berfungsi mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sudah tidak difungsikan lagi. BP7 terkubur bersamaan dengan tumbangnya rezim Orde baru dan sejak saat itu pendidikan Pancasila di masyarakat dan di dunia pendidikan menjadi mengambang dan perlahan tetapi pasti mengantar bangsa Indonesia ke jaman Kerusakan (Kalabendu). Karena ideologi-ideologi dan paham-paham predator Pancasila mendapatkan momentum untuk kembali masuk ke dalam pemikiran bangsa Indonesia khususnya melalui bidang pendidikan. Hasilnya adalah UU nomor 20/2003 tentang Sisdiknas pendidikan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa tidak lagi diwajibkan di segala jenjang dan jenis pendidikan.
Dengan keberadaan UU 20/2003 situasi jatidiri bangsa Indonesia menjadi semakin parah karena generasi muda cenderung hanya menjadi obyek pendidikan pengetahuan keilmuan yang dikendalikan oleh kepentingan paham kapitalisme liberal dan paham-paham lain pecundangnya yang cenderung mengabaikan pendidikan ideologi bangsa sebagai dasar berkepribadian dan bermasyarakat dalam jatidiri bangsa Indonesia. Dengan demikian pendidikan Pancasila harus segera mendapatkan perhatian oleh semua pihak tidak hanya pemerintah.[6]
Setelah merebaknya issue NII, tuntutan perlunya pendidikan Pancasila secara sistematis segera mendapat tanggapan dari para penyelenggara negara. Paling tidak ada dua pertemuan penting antara pimpinan dan mantan pimpinan lembaga tinggi negara membicarakan tentang pendidikan atau sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Pertama, pertemuan antara Presiden dan Ketua MPR serta beberapa pimpinan lembaga tinggi negara pada 24 Mei 2011 di kantor Mahkamah Konstitusi (MK). Pertemuan merekomendasikan rencana aksi nasional dengan membentuk suatu lembaga bertugas melakukan sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila secara formal melalui pendidikan Pancasila serta konstitusi (Slide 1a,b). Dalam hal ini Ketua MPR meminta presiden membantu terlaksananya rencana aksi sebagai proses sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa yaitu Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika (Kompas, Jawa Pos, 25/5/2011).
Kedua, pertemuan dalam rangka peringatan hari lahirnya Pancasila dan pidato Bung Karno 1 Juni 2011 atas prakarsa pimpinan MPR seperti tahun lalu (2010) di Gedung Nusantara IV kompleks DPR/MPR/DPD Jakarta. Pertemuan menghadirkan Presiden SBY dan dua mantan Presiden RI yang masih hidup yaitu BJ Habibie dan Megawati Sukarnoputri untuk berorasi tentang Pancasila. Pada prinsipnya semua pihak sepakat diadakan kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila secara formal dan Presiden SBY sebagai pimpinan eksekutif mengistruksikan kepada menteri pendidikan nasional[7]  dan menteri-menteri terkait untuk melaksanakan (Kompas, Jawa Pos,/3/6/2011). Pertanyaannya adalah bentuk kelembagaan, materi serta metoda apa sosialisasi  empat pilar dan pebudayaan nilai-nilai Pancasila akan dilaksanakan.

PIDATO 1 JUNI 1945: QITOH KEMERDEKAAN BANGSA
Apabila pemikiran dari para pemimpin bangsa tersebut disetuji dan akan diwujudkan, untuk tidak mengulangi cara kerja BP7 pada jaman Orde Baru, penulis ingin mengingatkan sekaligus mengusulkan suatu pemahaman komprehensif tentang Pancasila dengan kembali mendalami isi pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945.[8] Pidato tunggal tentang dasar negara atau “weltanschauung” untuk Indonesia merdeka yang diucapkan (tanpa teks) oleh seorang pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia berpendidikan modern yang dijalani sejak usia muda. Bagian dari gerakan kolektif para pejuang kemerdekaan atau founding fathers bangsa dengan ketulusan dan keikhlasan serta keberanian luar biasa di tengah pusaran pergolakan pemikiran kritis dan revolusioner terhadap kolonialisme dan harus menghadapi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pidato  di depan sidang BPUPKI tersebut kiranya bukan sembarang pidato. Pidato di hadapan 67 anggota BPUPKI tokoh intelektual dan terpelajar  founding fathers bangsa Indonesia merupakan konstruksi pemikiran dalam kebersamaan yang berkembang selama pejuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. Pidato dengan sambutan hebat (12 kali tepuk tangan) oleh forum dengan kualitas peserta seperti itu selain bersifat ilmiah (Taufik Abdulah) dan mempunyai kekuatan teleologis (Azumardi Azra) juga sangat komprehensif sebagai suatu manifesto. [9]
Oleh sebab itu isi pidato 1 Juni 1945 yang ilmiah dan mempunyai jangkauan jauh ke depan tersebut kiranya dapat merupakan qitoh atau manifesto kemerdekaan dari para founding fathers untuk menjadi sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia merdeka. Artinya isi pidato merupakan bagian tak terpisahkan dengan makna sila-sila Pancasila yang ada dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 sebagai ideologi dan filosofi berbangsa dan bernegara yang harus menjadi substansi dalam proses sosialisasi dan atau pendidikkan kepada masyarakat Indonesia.
Menghadapi permasalahan ideologis dan fenomena-fenomena paham patologis lainnya yang mengancam kebersamaan bangsa Indonesia dalam ketiga kategori paham-paham yang telah disebutkan, khususnya menghadapi adanya gerakan sektarian Islam radikal, terorisme dan NII, dalam pidato Bung Karno sebetulnya sudah diantisipasi ketika membicarakan prinsip ke tiga versi pidato atau sila ke empat versi UUD 1945, yaitu prinsip ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan’ khusus untuk golongan Islam dengan menyebutkan:
”Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, — maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, — tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, ……”[10]

Sedangkan konsep bagaimana mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam perilaku bangsa Indonesia didefinisikan oleh Bung Karno sebagai berikut:
“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya, satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong Royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong!”.
“Gotong-royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan” Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah suatu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan suatu usaha, suatu amal, suatu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan Bantu-binantu bersama. Amal semua buat semua. Holobis-kontul baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong –royong!
Prinsip Gotong-royong diantara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan untuk menjadi bangsa Indonesia.”[11]




METODA PERBANDINGAN
Dalam menjelaskan dasar negara yang diusulkan, pidato Bung Karno 1 Juni 1945 dengan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan atau wetenschap  ketika itu, dengan memakai metoda perbandingan (comparative) disebutkan pengalaman beberapa negara yang sudah merdeka. Antara lain negara Amerika (Amerika Serikat-AS) yang terkenal dengan Declaration of Independence sebagai naskah dasar ideologi bangsa Amerika dengan paham politik liberalisme, paham ekonomi kapitalisme dan paham kemasyarakatan individualisme. Kemudian Soviet Rusia (Uni Soviet-US) dengan Leninisme sebagai implementasi Manifesto Communist Karl Marx menjadi pokok ajaran ideologi negara-negara komunis dengan paham politik diktator proletar, paham ekonomi sosialisme-komunis dan paham kemasyarakatan komunalisme.
Dalam pidato 1 Juni 1945 disebutkan pula pemikiran Dr. Sun Yat Sen untuk revolusi China (dari monarki ke republik) dengan konsep San Min Chu I  – Mintsu, Minchuan, Min Sheng atau nasionalisme, demokrasi, sosialisme dan ajaran Mahatma Gandhi untuk bangsa India yang terkenal dengan konsep  satiagraha, ahimsa dan swadeshi serta ajaran berdasarkan nilai-nilai Islam Ibnu Sa’ud untuk Arab Saudi (Slide 4) [12].
Dalam tahap perkembangan ilmu pengetahuan (kenegaraan) modern dan dengan metoda dan analisis perbandingan ideologis seperti itulah kiranya pidato 1 Juni 1945  meletakkan Pancasila, Trisila dan Ekasila atau Gotong-royong di dalam hierarkhi pembangunan tatanan hukum dan kemasyarakatan dalam rangka revolusi bangsa Indonesia dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa merdeka (Slide 5).
Ketiga konsep tersebut dimaksudkan untuk menjadi konstruksi dasar jatidiri bangsa Indonesia sebagai pembeda dengan jatidiri bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Agar dari ketiga konsep dasar negara tersebut, setelah melalui “jembatan emas” kemerdekaan, menjadi sumber dari segala sumber hukum dan dari sana dapat disusun hukum dasar baik tertulis maupun tidak tertulis. Hukum dasar tertulis diwujudkan sebagai konstitusi dan hukum dasar tak tertulis diwujudkan sebagai apa yang biasa disebut konvensi.
Kedua macam hukum dasar dimaksudkan menjadi pondasi konstruksi bangunan baik fisik dalam wujud konstitusi maupun kejiwaan/budaya dalam wujud konvensi keberadaan jatidiri bangsa dan negara Indonesia. Dengan pemahaman demikian melalui PPKI yang diketuai oleh Bung Karno sendiri, telah tersusun konstitusi negara Indonesia merdeka yaitu Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dengan Preambul di mana terkandung sila-sila Pancasila. [13]
Jadi apabila kita setuju bahwa pidato 1 Juni 1945 sebagai qitoh kemerdekaan bangsa Indonesia, maka perbincangan dan aktualisasi dasar dan ideologi negara selama ini ternyata masih berkisar tentang implementasi nilai-nilai lima sila Pancasila sebagai norma-norma hukum.  Yaitu penyusunan seperangkat aturan yang terkait dengan pembangunan struktur dan fungsi (structural functional matters) kelembagaan negara dan pemerintahan modern secara yuridis formal dalam konstitusi yang rasional dengan nilai-nilai etikanya.
Padahal, seperti telah diuraikan, masih ada dua konsep lainnya untuk nilai-nilai Pancasila yang disebutkan Bung Karno dalam pidatonya dan salah satunya adalah sebagai perilaku Gotong-royong dan kiranya sangat terkait dengan fungsi  nilai-nilai cultural (cultural functional maters) dengan norma-norma moral yang konvensional untuk menjadi dasar fatsun politik dan civil society bangsa Indonesia dengan nilai-nilai etikanya pula.

SOSIALISASI NILAI-NILAI PANCASILA: Membangun keGotong-royongan
UUD 1945 kiranya dapat disejajarkan dengan konstitusi berdasar ideologi negara-negara lain seperti kapitalisme-liberal AS dan negara-negara barat lainnya dan konstitusi berdasar ideologi sosialisme-komunis Uni Soviet (alm.) atau Republik Rakyat China (RRC)  sekarang dan  paham-paham lainnya yang tentunya juga sudah dioperasikan ke dalam konstitusi masing-masing negara.
Dari UUD 1945 telah dibangun struktur dan fingsi  bangunan fisik jatidiri bangsa dan negara Indonesia modern dan, memakai istilah Bung Karno, sudah pada tingkat “swaarwichtig” atau njlimet. Bahkan pada era reformasi setelah tahun 1998 dalam rangka menghadapi globalisasi, melalui amandemen UUD ’45, berbagai struktur dan fungsi kenegaraan telah direformasi dengan “satu wetenschap baru, satu ilmu baru” yang berkembang pasca PD II. [14].
Amandemen UUD 1945 sebagai usaha dalam rangka memaksimalkan kinerja sistem negara Indonesia modern yang demokratis dan berotonomi daerah yang sedang dibangun implementasinya sejak tahun 2007 dikawal oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian pula kinerja berbagai struktur dan fungsi kenegaraan yang telah direformasi juga dilengkapi dengan berbagai komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY) dan lain-lain. Yudi Latif menyebutnya sebagai negara paripurna. Namun ternyata kehidupan berbangsa dan bernegara masih dan dikhawatirkan semakin karut-marut (Slide 6)
Untuk menghentikan karut-marut tersebut kiranya perlu meninjau kembali semangat pidato 1 Juni 1945, terutama tentang keberadaan dua konsep Trisila dan Ekasila atau Gotong-royong. Dengan semangat pidato 1 Juni 1945 kita harus meninjau kembali implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dengan ilmu pengetahuan baru yang telah kita pelajari dan kembangkan setelah proklamasi kemerdekaan baik pada era Orde Lama dan Orde Baru maupun pada era Reformasi sekarang ini. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan di universitas-universitas selama ini harus dipakai untuk melengkapi dan menyempurnakan konstitusi sebagai hukum dasar negara tertulis yang sudah dioperasionalkan dalam UUD 1945 dan diwujudkan dalam struktur dan fungsi kongrit kenegaraan yang ada.
Yaitu mengoperasionalkan kedua konsep Trisila dan Ekasila atau Gotong-royong dalam rangka menyempurnakan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dengan hukum dasar negara tak tertulis sebagai konvensi yang lebih bersifat kultural. Karena keberadaan dua konsep tentunya dimaksudkan untuk kesempurnaan dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam perilaku bangsa Indonesia yang merujuk pada fungsi nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

PAHAM INDIVIDUALISME, KOMUNALISME DAN GOTONG-ROYONG
Dari uraian di muka ternyata selama reformasi masyarakat Indonesia sudah dikepung secara sistematis oleh paham-paham predator Pancasila. Dalam acara memperingati lahirnya Pancasila pada 1 Juni 2011 salah seorang pemimpin bangsa mengingatkan  bahwa nilai-nilai Pancasila harus segera dapat berkembang dan berakar kuat di dalam jiwa bangsa Indonesia (Kompas, Jawa Pos, 3/6/2011). Yaitu merevitalisasi dan rejuvenasi Pancasila melalui  proses sosialisasi dan pendidikan nilali-nilai Pancasila secara sistematis baik di masyarakat maupun di dunia pendidikan. Oleh sebab itu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan Pancasila merupakan suatu perjuangan.
Dengan serbuan paham-paham predator Pancasila yang demikian canggih maka upaya sosialisasi dan pendidikan nilai-nilai Pancasila dapat dikatakan merupakan bagian dari perjuangan mengoperasional ideologi berbangsa dan bernegara.  Dalam pidato 1 Juni 1945 Bung Karno mengatakan: “… tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu weltanschauung  dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan!”
Dalam ilmu pengetahuan pasca PD II tentang pembangunan masyarakat (bangsa), demi efektifitas suatu perjuangan dalam mewujudkan weltanschauung menjadi kenyataan perilaku kultural konvensional bangsa Indonesia, sepertihalnya keberadaan komisi-komisi dalam rangka implementasi konstitusi UUD 1945 (negara) yang telah disebutkan, maka diperlukan satu komisi sebagai pengganti fungsi BP7 namun tanpa mengulangi kesalahannya, yang berfungsi memfasilitasi masyarakat mengkostrusikan perilaku kebersamaan berdasarkan nilai-nilai Pancasila yaitu masyarakat gotong-royong.
Hasil pembangunan struktur dan fungsi negara berdasarkan UUD 1945 yang telah berlangsung selama ini apabila dilengkapi dengan konstruksi kultur fungsi kegotong-royongan masyarakat yang merupakan budaya asli Nusantara, maka karakter jatidiri bangsa Indonesia menjadi sempurna baik phisicaly maupun culturaly. Dengan demikian bangsa Indonesia niscaya mampu membangun baik human maupun social capital (Slide 7) yang tangguh dan kompak untuk berinteraksi dalam hubungan antar bangsa dan bersaing dengan masyarakat individualis seperti AS dan negara-negara barat lainnya, juga dengan masyarakat komunal sama-rasa sama-rata di negara-negara komunis yang telah mereformasi diri seperti di RRC dan Vietnam, serta paham kemasyarakatan lainnya berdasarkan nilai-nilai ideologi masing-masing negara di seluruh dunia. Dalam hal ini Yudi Latif menuliskan: “Seperti kemajuan India lewat karakter swadesinya, China dengan kolektivismenya, dan Amerika Serikat dengan individualismenya, trayek kemajuan Indonesia adalah karakter gotong royongnya”.[15]
Instruksi presiden pada peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2011 Bagi para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dengan leading sektornya Menteri Pendidikan Nasional, adalah mewujudkan masyarakat gotong-royong sebagai usaha mengelaborasi pidato presiden SBY pada hari peringatan yang sama tahun lalu 1 Juni 2010 di MPR-RI yang mengatakan:
“Di abad ke21 ini Insya Allah Indonesia bisa menjadi negara maju dengan syarat kita bisa meningkatkan kemandirian, daya saing, dan peradaban unggul, dan itu bisa dicapai kalau negara mengutamakan kebersamaan, persatuan, dan kerja keras. Maka tiada lain konsep gotong royong disampaikan Bung Karno adalah semua buat semua, bekerja keras bersama, saling bantu sama lain.”

Tugas tersebut searah dengan hasil Rembug Nasional Pendidikan 2010 terutama tugas Komisi IV yang membidangi Penguatan peran pendidikan dalam upaya peningkatan akhlak mulia dan pembangunan karakter bangsa.
Apabila pemikiran ini dapat menjadi bagian dari pertimbangan kebijakan pemerintah  dalam mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila, maka tinggal bagaimana kesigapan dan kesiapan menteri pendidikan nasional dan menteri-menteri terkait lainnya dalam melakukan koordinasi melaksanakan instruksi presiden. Menurut konsep MPR-RI mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila, adalah sekaligus mensosialisasikan UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sebagai empat pilar bangsa dengan membangun konsep gotong-royong menjadi perilaku masyarakat Indonesia melalui kelembagaan, materi serta metoda yang tepat di dunia pendidikan dan masyarakat.[16]

MASYARAKAT GOTONG-ROYONG=MASYARAKAT MADANI
Tulisan ini juga ingin mengingatkan bangsa kita karena, walaupun tidak mengidap insomnia, kita biasanya mudah melupakan sesuatu kalau sedang malas berfikir atau ada sesuatu yang dianggap lebih indah. Namun kali ini sesuatu itu sangat penting demi keselamatan bangsa dan negara. Terutama kepada generasi muda bangsa Indonesia pada pesan Bung Karno: “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah – jasmerah”. Jangan dengan keangkuhan intelektual dengan wetenschap barunya, yang ditimba dari negara-negara berfaham liberal dan atau paham-paham pesaing Pancasila lainnya, menafikan pemikiran generasi pejuang kemerdekaan.
Cita-cita para pendiri bangsa ini adalah terbangunnya masyarakat Indonesia modern yang tidak  individualis, atau masyarakat komunal sama rasa – sama rata dan juga bukan masyarakat berdasarkan ajaran agama tertentu dalam hal ini agama Islam. Namun, seperti dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, membangun  masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, berdasarkan nilai-nilai lima sila Pancasila yang cerdas dan pandai untuk ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dengan wetenschap baru yang “dicari sampai ke negeri China sekalipun” seperti disabdakan nabi Muhamad SAW dalam haditsnya.
Seperti apa wujud masyarakat gotong-royong itu,  maka penulis juga setuju dengan apa yang dicita-citakan nabi Muhamad SAW tentang konsep masyarakat madani tentang masyarakat Madinah yang multi etnik dan multi agama ketika itu. Bagaimana sikap dan perilaku golongan Islam sebagai mayoritas untuk hidup berdampingan dengan golongan umat beragama lainnya yang minoritas di Indonesia dan kiranya jiwa masyarakat madani ada dalam pidato Bung Karno. Masyarakat Madinah dapat dikatakan merupakan miniatur bangsa Indonesia sebagai negara Islam terbesar di dunia.  Apabila bangsa indonesia mampu mewujudkan masyarakat madani di Indonesia niscaya akan menjadi teladan dan percontohan dunia dalam menciptakan perdamaian di era gflobalisasi yang menghadapi masalah, seperti kata Huntington, benturan peradaban yang bersumber dari perbedaan ras, budaya dan agama. Sehingga apa yang dipidatokan Bung Karno di depan Majelis UmumPBB tahun 1962 bahwa Pancasila dapat menjadi ideologi dunia bukanlah isapan jempol.[17]

MEWUJUDKAN MASYARAKAT GOTONG-ROYONG
Dari uraian di muka sebagai insan pendidikan dengan pengalaman lapangan dalam pemberdayaan masyarakat (masyarakat dunia usaha – KADIN dan usaha pengentasan kemiskinan – IDT-PPK) sebagai penutup penulis berusaha menguraikan garis besar usulan sosialisasi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sesuai dengan semangat yang telah diuraikan. dalam Pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai Pancasila adalah membangun masyarakat Gotong-royong mewujudkan manusia mono dualistis yaitu manusia individu dan manusia sosial dengan definisi konsep seperti terkandung dalam Pidato 1 Juni 1045 Ir. Sukarno. Dalam kesepakatan para pemimpin bangsa pada peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 2011 usaha pembangunan diinstruksikan oleh presiden SBY agar  Kemendiknas dan dunia pendidikan sebagai leading sektor. Pembangunan dengan pendekatan demikian searah dengan konsep belajar seumur hidup bangsa Indonesia dan searah pula dengan tujuan kebijakan 20% APBN/APBD untuk anggaran pendidikan sehingga pendidikan tidak hanya di sekolah (pedagogi) untuk orang-orang muda namun juga di luar sekolah untuk orang-orang dewasa (andragogi).
Untuk melaksanakan pendidikan Pancasila dan konstitusi sesuai dengan rencana aksi nasional perlu dibentuk suatu lembaga secara formal. Pendidikan  masyarakat membangun kegotong-royongan idealnya diselenggarakan oleh sebuah komisi seperti halnya KPU untuk penyelenggaraan pemilihan umum,  KPK untuk pemberantasan korupsi dll.. Komisi yang memfasilitasi masyarakat melalui fasilitator-fasilitator atau pendamping (bukan penatar seperti pada BP7) yang rekruitmenya harus melalui proses seleksi dan sertifikasi, dengan dunia pendidikan sebaga leading sektor. Dengan demikian maka masyarakat guru dan dosen menjadi inti sumber sumber daya fasilitator (mempunyai ilmu dan ketrampilan pendidikan) namun juga dapat dari masyarakat umum yang lulus seleksi dan sertifikasi.
Pendamping/fasilitator, atas penugasan dari Komisi, mendapingi/ memfasilitasi dunia pendidikan dan masyarakat membangun kegotong-royongan antara individu-individu yang kaya (banyak rezeki) dengan yang tidak kaya/miskin (sedikit rejeki) berdasarkan Sila 1 (Pertama) Pancasila yaitu kehidupan berKetuhanan Yang Maha Esa (moral agama) diwujudkan ke dalam pemberian Sodakoh/zakat dari umat Islam minimal Surat Al Ma’un dan Surat Yasin ayat 47 Al Qur’an, Persepuluhan/kolekte  dari umat Kristen/Katolik Surat ? Kitab Injil, Dane punye (Hindu/Budha) Surat ? Kitab Weda dan Tripitaka,  Angpao umat Konghuchu  Surat ? ajara Konfusius.
Unit pertama dan utama Gotong-royong di masyarakat adalah RT (Rukun Tetangga). RT membuka rekening untuk dana  sodaqoh, kolekte, danepunye dan angpao warga yang besarnya dan penggunaannya ditetapkan bersama secara musyawarah. Misalnya 2,5% dari pendapatan setelah pajak (sisanya 97,5%) masing-masing individu penduduk yang bekerja untuk membantu yang miskin, menganggur, manula yang papa, anak yatim piatu dan lain-lain di setiap RT.
Pendampingan dalam rangka mengalokasikan dari yang kaya dan yang miskin menurut ajaran agama tersebut juga harus dalam rangka melaksanakan/mengimplementasikan nilai-nilai 4 Sila Pancasila lainnya yaitu: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dana yang terkumpul ditujukan untuk membantu mereka yang hidupnya terancam karena kemiskinan. Persatuan Indonesia atau berkebangsaan. Dana dialokasikan tidak pandang suku, ras maupun agama. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijakan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dana dialokasikan dengan melalui permusyawaratan untuk mencapai efektifitas dan efisiensi. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dana yang terkumpul harus terbagi secara adil dan merata mengentas kemiskinan di seluruh Indonesia. Jadi mewujudkan masyarakat Gotong-royong  adalah mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila secara bottom up dan komplementer dengan program pengetasan kemiskinan dari Pemerintah antara lain dalam bentuk Block Grand.
Sebagai fungsi koordinasi RT terbagi dalam dasa wisma. Setelah proses di RT, RT diwakili oleh kader RT yang dipilih secara musyawarah membangun kegotong-royongan antar RT di RW (Rukun Warga), RW membuka rekening untuk menampung kontribusi RT dan Blog grand dari Kabupaten/kota. RW-RW diwakili kader-kader yang terpilih, membangun kegotong-royongan Desa dan melalui kader desa membangun kegotong-royongan Kabupaten. Proses dari tingkat RT hingga Kabupaten/kota difasilitasi oleh Komisi tingkat Kabupaten/Kota. Kabupaten/kota membangun kegotong-royongan di tingkat propinsi (difasilitasi oleh Komisi tingkat Propinsi) dan dilanjutkan antar propinsi membangun kegotong-royongan tingkat nasional (difasilitasi oleh Komisi tingkat Nasional).
Unit utama Gotong-royong di dunia pendidikan adalah siswa, mahasiswa, tenaga pendidik/guru dan dosen, tenaga kependidikan/ tenaga administrasi, orang tua murid dan mahasiswa dalam komite dan IKOMA. 1. Proses Gotong-royong di antara Siswa dan mahasiswa yang tergabung dalam OSIS dan Himaprodi dibagi ke dalam kelompok perkelas/angkatan, kelompok dasa siswa dan dasa mahasiswa (pembagian kelompok student centerd learning – SCL) merupakan bagian dari proses pendidikan dan pembelajaran terutama dalam pengembangan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat. Siswa dan mahasiswa didampingi fasilitator membangun kegotong-royongan melalui kegiatan Kurikuler, co kurikuler dan atau ekstra kuirkuler. Proses gotong-royong di tingkat siswa dan mahasiswa tidak pada pembagian rezeki namun ditujukan untuk mengembangkan jiwa siswa dan mahasiswa.
2. Tenaga pendidik dan Tenaga kependidikan. Tenaga pendidik yang tergabung di dalam asosiasi (paguyuban) tenaga pendidik bidang ilmu masing-masing yaitu asosiasi guru sejenis (wilayah sekolah) dan dosen jurusan/departemen (di PT) sebagai tenaga fungsional dan intelektual/profesional; dan Tenaga kependidikan atau pegawai administrasi di sekolah dan PT tergabung dalam Korps Pegawai. Antara tenaga pendidik ada kemungkinan terjadi kesenjangan baik antar guru maupun dosen di pendidikan tinggi dengan dimungkinnya praktek di luar kampus (dokter, apoteker) proyek-proyek lainnya yang memerlukan tenaga ahli dari dunia pendidikan. Demikian pula antara Tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, sebagai sama-sama tenaga yang bekerja di dunia pendidikan namun ada kesenjangan sehingga terjadi ketidak adilan. Seperti yang telah diuraikan tentang kesenjangan antara tenaga pendidik dengan adanya perbedaan masa kerja pendidik yaitu dimungkinkan pensiun umur 65 tahun sedangkan tenaga kependidikan hanya umumr 56 tahun, tunjangan fungsional dan sertifikasi serta hanor mengajar untuk tenaga pendidik perlu terjadi proses gotong-royong dengan Tenaga kependidikan. Dengan proses seperti di RT-RW, prinsip Gotong-royong dilaksanakan dengan membuka rekening untuk tenaga pendidik pada unit asosiasi-asosiasi (paguyuban) terkecil (Jurusan/departemen – untuk Dosen PT dan kantor wilayah kabupaten/kota – untuk guru sekolah), sedangkan  tenaga pendidik dan tenaga kependidikan juga tergabung dalam korps pegawai (Korpri). Melalui kader-kader dari unit-unit gotong royong masing-masing komunitas membangun kegotong-royongan dalam komunitas yang lebih luas hingga tingkat nasional. Demikian pula di kalangan pegawai negri sipil lainnya dan militer serta kepolisian gotong-royong dibangun dari unit terkecil korps pengawai sesuai dengan struktur dan tupoksi departemen dan atau kementerian masing-masing. [18]
Mungkikah Propinsi Jawa Timur menjadi Pytot Project?

DAFTAR BACAAN
Adi, Rukminto, Isbandi, Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta, 2008.
Budiardjo, Miriam, Pudjiastuti, Tri Nuke (Eds), Teori-Teori Politik Dewasa Ini, Rajawali Perss, Jakarta, 1996.
       Damayanti, Nyoman Anita, Drg., MS., Dr., Membangun Kekuatan Modal Sosial (Social Capital) Universitas Airlangga Menuju World Class University, Pidato Ilmiah pada Sidang Dies Natalis ke 56 Universitas Airlangga 10 Nopember 2010.
Feith, Herbert dan Castle, Lance, 1996. Pemikiran PolitikIndonesia1945-1965.Jakarta: LP3ES.
Harrison, Lawrence E., Huntington, Samuel P. (Ed.) (Harvard University), Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kamajuan Manusia, Pustaka LP3ES Indonesia,Jakarta, 2006.
Hashemi, Nader, “Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim”, terjemahan Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Januari 2011.
Ife, Jim, Tesoriero, Frank, Comunity Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008;
Kompas, Merajut Nusantara: Rindu Pancasila, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Oktober 2010.
Putnam, Robert D., “Building Social Capital and Growing Civil Society, Paper on Winter Monday Night Lecture Series, 2001.
Rofiqi, A. Zaini (Ed.), Amerika dan Dunia, Yayasan Obor, Jakarta, 2005.
Suyanto, Bagong, Amal, M. Kusna (Eds.), Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, Aditya Media, Tlogomas Malang, 2010.
Suparno, Paul, Dr., Filsafat Kunstruktivisme dalam Pendidikan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1997.

Triharso, Ajar, 2006, Menyelamatkan Pancasila Dari  “Virus Ganas” Neo Liberalisme, Jurnal Karakter Bangsa, TPB Universitas Airlangga, Vol. 2, 2006.

Triharso, Ajar, Berfikir Kritis-Konstruktif Di Dunia Pendidikan, Mengembangkan Ahklak Mulia dan Karakter  Gotong-Royong dalam Jatidiri Bangsa di Era Globalisasi (Penghayatan dan Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Rangka Membangun Civil Society Masyarakat Madani Indonesia Dengan Kembali Ke Kitoh 1 Juni 1945. Call Paper untuk Kongres Pancasila III – 31 Mei Dan 1 Juni 2011 di UA.
 Zainuddin, Muhammad, Prof. Dr. H., at al., Melejitkan Soft Skill Mahasiswa, Direktorat Pendidikan Universitas Airlangga, 2009, hal. 31-36,


[1]Penulis adalah pengampu Mata Kuliah Wajib Universitas (MAWU) Pancasila dan Kewarganegaraan – PPKN – Universitas Airlangga (UA), Ketua Komisi Pengkajian/Pusat Studi Jatidiri dan Kebangsaan (PSJK) LPPM-UA. Tulisan ini dikembangkan dari materi untuk Rapat Koordinasi Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama (RAKOR DP FKUB) Provinsi Jawa Timur 14 Juli 2011.

[2]Tentang Pancasila penulis merujuk pada tulisan Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Nasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta, 2011.
[3]Tentang masalah radikalisme Islam penulis mendapat pencerahan dari tulisan Nader Hashemi “Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim”, terjemahan Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Januari 2011. Nader Hashemi seorang Asisten Profesor dalam bidang kajian Timur Tengah dan Politik Islam University of Denver. Hashemi dalam kajian historis dengan filsafat dan teori politik klasik dan metode perbandingan (comparative), berusaha merumuskan teori dan implementasinya demokrasi liberal di masyarakat/negara yang mayoritas warganya beragama Islam dengan Iran, Turki dan Indonesia sebagai fokus kajian.
[4]Menurut Hashemi gerakan Islam Radikal abad 14-15 Hijrah (20/21 Masehi), seperti halnya Puritanisme (masyarakat Kristen) di Eropa abad 14-15 Masehi, hanyalah fenomena antara untuk munculnya “democratic bargaining” dalam implementasi Demokrasi Liberlal di masyarakat mayoritas beragama Islam, Nader Hashemi, ibid., Bab I. Tentang pemikiran Francis Fukuyama dan Samuel P. Huntington baca Rofiqi, A. Zaini (Ed.), Amerika dan Dunia, Yayasan Obor, Jakarta, 2005.

[5]Berdasarkan tesis Hashemi, menurut penulis Pancasila adalah teori demokrasi dalam masyarakat (mayoritas) Muslim Indonesia yang disusun pada sidang BPUPKI (Pidato Ir. Sukarno 1 Juni 1945) dan PPKI (Naskah Proklamasi Kemerdekaan dan UUD 1945). Sementara  di Iran hingga saat ini masih belum menemukan format yang pas bahkan masih dalam kondisi radikal dan Turki dengan dasar kebudayaan Turki dalam rangka menjadi bagian dari EU, Nader Hashemi, op. Cit. Hal. 230-258. Tentang kerinduan pada Pancasila baca Kompas, Merajut Nusantara: Rindu Pancasila, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Oktober 2010. Tentang arti karakter lihat Prof.  Suyanto Ph.D, Pentingnya Pendidikan Karakter, didown load 25 Juni 2011 jam 08.34: “… karakter sama dengan kepribadian”.
[6]Penulis sebagai dosen Pendidikan Pancasila selama 30 tahun di UA dalam kurikulum Pengembangan Kepribadian (MPK) dan Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) di bawah koordinasi UPT MKU dan MKWU merasakan dua warna kekuasaan politik yang berkepentingan terhadap Pendidikan Pancasila. Pertama, kekuasaan Orde Baru yang anti komunis dan pro barat (liberal) dalam perang dingin. Pemeritah Orde Baru mengembangkan Pendidikan Pancasila secara doktriner untuk mempertahankan sistem pemerintahan otoriter, birokratis dan militeris dalam rangka pembangunan ekonomi. Kedua, dalam situasi hubungan antar bangsa pasca perang dingin di  mana paham atau ideologi kapitalis dan demokrasi liberal sebagai pemenang perang menjadi semakin dominan (Fukuyama), pemerintahan era reformasi berusaha mengembangkan sistem pemerintahan demokratis hasil belajar “lebih mendalam” dari dunia barat, namun terasa “kebablasan”. Pendidikan Pancasila justru dipandang tidak perlu oleh pemikiran kelompok dominan di kehidupan politik di Indonesia baik yang menjadi protagonis paham liberalisme maupun bagi yang sepaham dengan musuh baru dunia barat pasca perang dingin yaitu paham Islam radikal (Huntington). 
[7]Gerakan memasukkan kembali Pendidikan Pancasila dalam kurikulum pendidikan nasional khususnya di pendidikan tinggi sudah ada sejak berlakunya UU nomor 20/2003 tentang Sisdiknas yang sudah tidak mencantumkan lagi Pendidikan Pancasila. Bahkan PTN se Jawa Timur (UA, ITS, Unesa, Unibraw, UIN Malang, UNEJ) membentuk Publik University Link System of East Java (PULSE) dengan menunjuk Unesa (karena ada jurusan PKn) sebagai penanggung jawab dalam pengembangan Pendidikan Pancasila.  Dengan semangat PULSE  antar MKU-MKU PT dan PTS di Jawa Timur telah terbentuk Lembaga Pengembangan Pembudayaan Pancasila (LP3) Jawa Timur. Namun karena semakin kuatnya arus paham anti Pancasila di dunia pendidikan di era reformasi dan didukung keberadaan UU 20/2003, semangat gerakan semakin lemah bahkan  PULSE sudah dilupakan oleh sebagian besar para pimpinan baru  PTN-PTN anggotanya. Sebagai penerus semangat PULSE atas prakarsa DPRD Tk. Jawa Timur pada tahun 2006 di antara eks. guru dan dosen Pendidikan Pancasila dibentuk asosiasi guru dan dosen pendidikan Pancasila (AGDPP) untuk meneruskan perjuangan. Salah satu hasil perjuangan AGDPP adalah diselenggarakannya Kongres Pancasila III pada 31 Mei dan 1 Juni 2011 di UA yang didukung oleh MPR, UGM dan PTN, PTS serta jajaran Pemerintah Daerah baik eksekutif maupun legeslatif di Jawa Timur dengan tema “Harapan, Peluang dan Tantangan Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila” di mana penulis menjadi ketua OCnya (Slide 2). Sejak 2006 sebetulnya ada beberapa perkembangan kebijakan  yang terkait dengan Pancasila. Namun karena UU Sisdiknas yang cacat hukum (Mahfud MD) dan para pembuat kebijakan sudah banyak yang terjangkit virus anti Pancasila, maka peraturan-peraturan pelaksanaannyapun dirasakan setengah hati tidak komprehensif. Antara lain PP No. 19/2005 tentang SNP dan kemudian di pendidikan tinggi SK Dirjen Dikti 43/2006 tentang  MPK dan 44/2006 tentang MBB (Slide 3a,b) terasa sebagai kebijakan yang tambal sulam (incremental). Kebijakan yang paling akhir antara lain Surat Edaran (SE) Dirjen Dikti No. 06/D/T/2010 5 Januari 2010 tentang Penyelenggaraan Perkuliahan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, SE Dirjen Dikti No 914/E/T/2011 30 Juni 2011 tentang Penyelenggaraan Perkuliahan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi dan SE Dirjen Dikti No 1016/E/T/2011 15 Juli 2011 tentang Masa Orientasi Mahasiswa Baru dirasakan merupakan kebijakan yang tidak tulus dan tidak serius.

[8] Naskah Pidato Ir. Sukarno 1 Juni 1945 dalam Herbert Feith dan Lance Castle, 1996. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES, hal. 15-26

[9]Yudi Latif, Negara Paripurna Ibid.. Bab pendahuluan. Dalam kriteria Nader Hashemi Bung Karno dan kawan-kawan sebagai founding fathers menurut penulis adalah kaum Islam Politik Indonesia. Kaum Islam Politik Indonesia merupakan hasil dari gerakan radikal Islam sejak perang  Padri, perang Diponegro hingga bentuk nasionalnya Serikat Dagang Islam dan Sarikat Islam Tjokroaminoto di mana Bung Karno dan kawan-kawan mengawali gerakan nasional Islam Politik melawan pemerintak kolonial.
[10]Herbert Feith dan Lance Castle, 1996, ibid., hal. 20-21.
[11]Ibid. hal. 25-26. Dalam Buku Yudi Latif kalimat terakhir tentang prinsip Gotong-royong tidak dikutip. Padahal prinsip itulah substansi konsep implementatif operrasionalisasi nilai-nilai Pancasila.
[12]Perkembangan ilmu pengetahuan modern atau wetenschap tentang kenegaraan termasuk tentang konstitusi modern dan studi hubungan antar bangsa dan metoda perbandingan yang dipakai Bung Karno serta yang dipelajari oleh para founding fathers lainnya baik formal maupun secara otodidak ketika itu tentunya masih sederhana, lemah dan belum komprehensif. Dengan kelemahan ilmu pengetahuan itulah masyarakat dunia (barat) mengalami Perang Dunia II. Hal tersebut disadari oleh para founding fathers dan oleh sebab itu pemikiran yang mereka dihasilkan untuk berdirinya Indonesia merdeka, khususnya tentang dasar negara yaitu Pancasila dan UUD 1945 dan pemikiran yang mendasarinya yaitu Pidato 1 Juni 1945, agar disempurnakan (bukan diganti) pada era kemerdekaan dengan ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan dengan nilai-nilai kemanusiaan baru hasil pengalaman PD II.
[13]Merujuk pada Tesis Nader Hashemi yang juga menggunakan metoda dan teori perbandingan dengan mengembangkan konsep Alfred Stefan tentang twin toleracies dalam konsep liberal arguing dan democratic bargaining, op. Cit., hal. 39-42, menurut penulis UUD 1945 sebagai konstitusi merupakan perwujudan liberal arguing sedangkan Gotong-royong sebagai konvensi merupakan hasil democratic bargaining agama-agama sebagai landasan moral bangsa Indonesia yang majemuk – multi kultural dan multi agama hasil dari sidang BPUPKI 1945 hingga PPKI dalam rangka penerapan Demokrasi Liberal di Indonesia.
[14]Dalam Wetenschap produk masyarakat barat liberal pasca PD II dalam ilmu sosial dan ilmu politik telah dikembangkan berbagai teori seperti teori sistem baik struktural fungsional maupun konflik, teori perbandingan Politik, teori pembangunan dan modernisasi negara-negara berkembang dan lain-lain. Selain itu dari ilmu pengetahuan tentang Indonesia juga telah lahir Indonesianis- Indonesianis. Pelopornya antara lain George MacTurnan Kahin, William Liddle, Dwigh King dari Amerika Serikat dan antara lain Heberth Feith dan Lance Castle. Untuk lebih jelas tentang tentang ilmu sosial modern baca Miriam Budiardjo, Pudjiastuti, Tri Nuke (Eds), Teori-Teori Politik Dewasa Ini, Rajawali Perss, Jakarta, 1996. Bagong Suyanto, M. Kusna Amal (Eds.), Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, Aditya Media, Tlogomas Malang, 2010. Tentang kebudayaan dalam pembangunan bangsa Lawrence E. Harrison, Samuel P. Huntington (Ed.) (HarvardUniversity), Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kamajuan Manusia, Pustaka LP3ES Indonesia,Jakarta, 2006.



[15]Yudi latif, Merawat Bayangan Kekitaan, Kolom | 30-03-2009 http://cetak.kompas.com/ read/xml/2008/ 12/ 02/ 00164648/ merawat. bayangan. kekitaan.
[16]Tentang pembangunan masyarakat (community development) baca Ife, Jim, Tesoriero, Frank, Comunity Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008; Rukminto Adi, Isbandi, Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta, 2008. Tentang konstrutivisme baca Prof. Dr. H. Muhammad Zainuddin, at al., Melejitkan Soft Skill Mahasiswa, Direktorat Pendidikan Universitas Airlangga, 2009, hal. 31-36, Bagong Suyanto, M. Kusna Amal (Eds.), op. Cit., Dr. Paul Suparno, Filsafat Kunstruktivisme dalam Pendidikan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1997., Tentang Social Capital baca Dr. Nyoman Anita Damayanti, Drg., MS., Membangun Kekuatan Modal Sosial (Social Capital) Universitas Airlangga Menuju World Class University, Pidato Ilmiah pada Sidang Dies Natalis ke 56 Universitas Airlangga 10 Nopember 2010, Robert D. Putnam, “Building Social Capital and Growing Civil Society, Paper on Winter Monday Night Lecture Series, 2001.

[17]Penulis Menguraikan Pembangunan Konsep Gotong-Royong dengan wetenschap baru dalam makalah Call Paper untuk Kongres Pancasila III – 31 Mei Dan 1 Juni 2011 di UA dengan judul: Berfikir Kritis-Konstruktif Di Dunia Pendidikan, Mengembangkan Ahklak Mulia dan Karakter  Gotong-Royong dalam Jatidiri Bangsa di Era Globalisasi (Penghayatan dan Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Rangka Membangun Civil Society Masyarakat Madani Indonesia Dengan Kembali Ke Kitoh 1 Juni 1945) (Slide 2). Nader Hashemi menuliskan tentang masyarakat Madani pada bab I  pada sub bab Individualisme dan Islamisme hal. 86-92.
[18] Sebagai Upaya Operasionalisasi Konsep Gotong-Royong dalam Pendidikan Pancasila di masyarakat dan dunia pendidikan, tentang komisi, fasilitasi dan organisasi digambarkan dalam Slide 8.

PANCASILA: ANTARA MITOS RATU ADIL DAN PENDIDIKAN MULTI KULTURAL

Mei 8, 2012
Abastrak
Masalah utama bangsa Indonesia saat ini adalah masalah krisis kebersamaan dalam kondisi multikultural atau masalah kesatuan dan persatuan bangsa dalam mewujudkan Bhineka Tunggal Ika. Yaitu kondisi krisis nilai-nilai masyarakat yang diformulasikan oleh para founding fathers ke dalam suatu sistem nilai yang kemudian disebut Pancasila. Di mana proses sosialisasi nilai-nilai Pancasila sejak awal reformasi terabaikan sehingga menguntungkan bagi ideologi-ideologi predator Pancasila. Yaitu Ideologi liberalisme-kapitalisme sebagai ideologi dominan dengan nilai-nilai individualisme, konsumerisme dan pasar bebas serta ideologi sektarianisme agama Islam sebagai pecundangnya dengan kebenaran tunggal yang menawarkan gerakan radikalisme dan terorisme. Nilai-nilai ideologi-ideologi tersebut justru merajalela tanpa kebijakan pemerintah yang berarti tentang materi, metoda dan strategi sosialisasi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Nilai-nilai jatidiri bangsa sekarang telah terkubur oleh nilai-nilai ideologi liberalisme atau neo-liberal dan kapitalisme yang erat dengan budaya barat. Nilai-nilai asing yang tersosialisasikan melalui proses modernisasi pendidikan dan pembangunan ekonomi yang selama ini dirujuk dari dan bekerjasama dengan sistem pendidikan dan industrialisasi negara-negara barat. Sehingga proses westernisasi menjadi lebih mudah merasuk kedalam jiwa masyarakat Indonesia. Proses liberalisasi, kapitalisasi dan westernisasi selama ini ternyata, seperti sudah terjadi pada era revolusi industri di Eropa, menghasilkan ketimpangan ekonomi dan dekadensi mental dan moral masyarakat – termasuk merajalelanya korupsi yang oleh Ki Ranggawarsito disebut Jaman Edan. Kondisi tersebut, sebagai ganti komunisme yang sudah tidak populer lagi,  justru menjadi dasar perjuangan kaum Islam radikal dengan dengan kebenaran tunggalnya melalui isue-isue ketertindasan, kemiskinan dan nilai-nilai agama.
Solusi untuk memecahkan masalah multikultural tersebut agar mampu memfasilitasi terbangunnya kesatuan dan persatuan bangsa yang kokoh adalah melalui pendekatan pendidikan. Dengan kurikulum pendidikan yang mencakup subyek-subyek yang dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan ”keikaan” di tengah ”kebinekaan” yang betul-betul aktual; tidak hanya sekedar slogan dan jargon. Dan, ini pada giliranya akan memperkuat aktualisasi Pancasila”.

Kata Kunci: Krisis budaya, Sosialisasi ideologi, Pendidikan Pancasila





Patologi Budaya

“Bangsa ini pernah dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah. Bangsa yang santun. Bangsa yang menghargai perbedaan. Bangsa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong sebagai nilai kebersamaan. Karakter ini telah berurat dan berakar dalam sistem sosial masyarakat Indonesia sejak lama. Keberadaan sistem nilai tersebut kemudian diformulasikan ke dalam suatu sistem nilai yang kemudian disebut Pancasila. Pancasila merupakan ‘hati nurani karakter bangsa kita yang melekat kuat dalam falsafah hidup bangsa terlembaga dan melekat kuat pula dalam diri bangsa Indonesia, sehingga berkembang menjadi jati diri bangsa.”[1]
Pada era reformasi bangsa Indonesia yang telah berlangsung hampir 15 tahun ini kehidupan berbangsa dan bernegara sudah mengalami perubahan besar di segala bidang. Proses perubahan melalui amandemen konstitusi dan demokratisasi di bidang politik serta efisiensi di bidang ekonomi di atas dasar civil society, untuk menjadi bangsa dan negara semakin diperhitungkan di dunia, ternyata tidak semudah yang dibayangkan dalam implementasinya.
 Proses pemilihan umum (pemilu) misalnya, sebagai salah satu elemen penting kehidupan poltik negara demokratis dalam menentukan pimpinan eksekutif dan anggota legeslatif baik di tingkat pusat maupun daerah, dan sebetulnya sudah menjadi tradisi sejak era Orde Baru, ternyata  menimbulkan problem baru yang menjadi bagian dari krisis nasional. Walaupun sebagai proses politik pemilu di Indonesia secara umum mendapatkan apresiasi dari berbagai penjuru dunia, dalam proses pemilu juga, ternyata berkembang “tradisi” money politics sebagai bagian dari “budaya” korupsi yang sudah berlangsung lama. Suatu perkembangan yang kontra produktif dan membahayakan kehidupan demokrasi sekaligus ekonomi bangsa. Dan tak kalah pentingnya, dan menjadi focus dari tulisan ini, menunjukkan bahwa bangsa kita sedang sakit (patologis) di mana nilai-nilai kebersamaan masyarakat Indonesia sebagai satu bangsa yang telah diformulasikan oleh para founding fathers kita sebagai nilai-nilai Pancasila dalam implementasinya ternyata jauh panggang dari api.
Fenomena unjuk rasa terhadap rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di mana peran mahasiswa dan generasi muda cukup signifikan demikian pula perdebatan antar elit politik baik di PDR maupun di media masa tentang isu yang sama tidak menunjukkan nilai-nilai kesantunan, keteladanan sebagai proses pendidikan politik masyarakat. Fenomena tersebut  menunjukkan semakin parahnya kondisi kejiwaan (psiko-patologis) yang diderita bangsa Indonesia. Para pengunjuk rasa dan para tokoh partai politik tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan dapat merusak atau menghancurkan kredibilitas bangsanya.  Dengan memakai cara berfikir kaum post modernis merujuk pada mitologi yang dikenal cukup luas di Indonesia yaitu ramalan Prabu Jayabaya, apakah fenomena tersebut adalah salah satu bagian dari jaman Kerusakan (Kalabendu) era jaman Kaliyuga atau jaman Edan menurut Ki Ranggawarsito yang harus dialami oleh bangsa Idonesia?.[2]
Ramalan tersebut memang dalam kriteria ilmu modern (empiris-positivis) dapat dikategorikan tidak ilmiah. Namun semua bangsa mempunyai mitosnya masing-masing sebagai salah satu dasar keyakinannya sebagai suatu bangsa. Dari mitos yang kemudian diperkuat dengan nilai-nilai budaya dan agama  dapat diperoleh nilai-nilai baik dan buruk serta benar dan salah sebagai dasar kearifan untuk kehidupan bersama.
Krisis Multidimensi
Sindhunata menuliskan sejak 1997 di samping dilanda krisis ekonomi dan politik, bangsa Indonesia juga mengalami krisis nilai budaya. Krisis nilai budaya  menjadikan bangsa Indonesia kelihatan bodoh, tidak percaya diri dan mudah diperdaya oleh bangsa lain. Pengaruh krisis nilai budaya konflik-konflik di masyarakat dan kejahatan-kejahatan  semakin diwarnai perilaku ganas dan biadab sehingga bangsa Indonesia terancam perpecahan (disintegrasi).
Krisis nilai budaya  menyebabkan hilangnya saling percaya (trust) dan rasa empati atau tepa selira. Menurut Institute of Future Studies for Development di Bangkok (Asia Week, December 1998), saling percaya adalah kunci untuk menyelesaikan krisis. Sementara itu empati adalah jaringan rasa sebagai basis kebudayaan yang memungkinkan terbangunnya kerukunan dan dialog sosial di setiap masyarakat. Dengan saling percaya dan membangun empati masyarakat akan dapat saling tolong menolong dan bekerja sama. (Kompas, 1999).[3]
Sejak disyahkannya secara konstitusional pada 18 Agustus 1945 oleh para founding fathers, Pancasila adalah dasar (falsafah) negara, pandangan hidup kebangsaan dan kenegaraan Indonesia yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Menurut Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna dalam posisi seperti itu, “Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa.”[4]
Yudi Latif merefleksikan kesadaran dan keprihatinan bahwa krisis yang mendera kehidupan kebangsaan saat ini begitu luas cakupannya dan dalam penetrasinya. Dia menggambarkan “Kehidupan kota (polis) yang semestinya menjadi basis keberadaban (madani) terjerumus ke dalam apa yang disebut Machiavelli sebagai “kota korup” (citta corrottisima) atau apa yang disebut Al Farabi sebagai “kota jahiliyah” (almudun al-jahiliyyah). Di republik korup dan jahil persahabatan madani sejati hancur. Tiap warga berlomba mengkhianati bangsa dan sesamanya, rasa saling percaya memudar, hukum dan institusi lumpuh sehingga tidak mampu meredam penyalah gunaan kekuasaan (korupsi), ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela, kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.[5] Gejala money politics dan fenomena-fenomena turunannya adalah bagian dari krisis yang perlu segera dieliminir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Krisis dan Ramalan Jayabaya
Krisis yang terjadi di Indonesia juga biasa disebut sebagai krisis multi dimensi kiranya dapat dikatakan merupakan perwujudan apa yang dimaksudkan dalam ramalan Prabu Jayabaya raja kerajaan Pamenang atau Kediri putra mahkota raja Airlangga dari Kahuripan yang salah satu versinya ditulis dalam naskah Serat Centini oleh pujangga keraton Surakarta Ki Ranggawarsito.[6] Ramalan yang dituliskan dalam bentuk bait-bait puisi atau pantun dan dibaca dengan kidung yang terkait dengan kondisi moral bangsa pada jaman Kalabendu dapat digambarkan dari beberapa bait berikut ini:
Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran
Tanah Jawa Kalungan wesi
Prahu mlaku ing dhuwur awing-awang
Kali ilang kedunge
Pasar ilang kumandsange
Iku tadha yen tekane jaman Jaya Baya wis cedhak
Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda (mobil). Pulau Jawa berkalung besi (jalan kereta api). Perahu berlayar di angkasa (pesawat udara). Sungai kehilangan lubuk (sungai mongering). Pasar lehilangan keriuhannya (super market). Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
Kemudian ada bait berbunyi:
Akeh manungso mung ngutamakke duwit.
Lali kamanungsan.
Lali kebecikan.
Lali sanak lali kadang.
Akeh bapa lali anak.
Akeh anak wani nglawan ibu.
Nantang bapa.
Sedulur pada cidra.
Keluargapadha curiga,
Kanca dadi musuh.
Akeh manungso lali asale.

Artinya: Banyak orang hanya mementingkan uang (memlesetkan sila pertama Pancasila – Keuangan yang maha kuasa). Lupa jati kemanusiaan. Lupa hikmah kebaikan. Lupa sanak lupa saudara. Banyak ayah lupa anak. Banyak anak melawan ibu. Banyak anak menantang ayah. Sesama saudara saling khianat. Keluarga saling curiga. Banyak orang lupa asal usulnya.
Pada ramalan lainya khususnya terkait dengan kehidupan beragama disebutkan di mana “para pencuri uang rakyat hidup makmur sejahtera, duduk santai menikmati kemewahan.” Dituliskan:
Maling wani nantang sing duwe omah.
Begal padha ndhugal.
Rampok pada keplok-keplok.
Wong momong mitenah sing diemong.
Wong jaga nyolong sing dijaga.
Wong njamin njaluk dijamin.
Akeh wong mendem donga.

Artinya: Pencuri menantang yang punya rumah. Penyamun semakin kurang ajar. Perampok pada tepuk tangan.  Pengasuh memfitnah yang diasuh. Penjaga mencuri barang yang dijaga. Penjamin minta diberi jaminan. Banyak orang mabuk doa.
Dari kalimat terakhir dapat diartikan “banyak orang menelan ajaran agama apa adanya, tanpa dipikirkan atau diresapi maknanya. Sehingga banyak orang kecanduan agama, tetapi mata hatinya tetap buta. Mabuk doa akibatnya. Doa diobral dimana-mana. Dikiranya semua masalah bisa diselesaikan dengan doa. Agama jatuh derajatnya, Cuma jadi alat instan pemuas kebutuhan dunia. Maka amalan agama yang paling laris dijalankan adalah doa biar cepat kaya, doa biar dapat istri cantik jelita, doa biar sukses semua usaha. Orang jadi lupa, bahwa ajaran agama memiliki sebuah kedalaman makna. Terkait dengan  kalimat-kalimat terakhir yang ada hubungannya dengan pemilu dituliskan:
Kana-kene rebutan unggul.
Angkara murka ngombro-ombro.
Agama ditantang.
Akeh wong angkara murka.
Ukum agama dilanggar.
Prikamanungsan diiles-iles.
Kasusilan ditinggal.

Artinya, di mana-mana orang berebut kemenangan. Angkara murka menjadi-jadi. Agama ditantang. Banyak orang angkara murka. Membesar-besarkan kedurhakaan. Hukum agama dilanggar. Perikemanusiaan diinjak-injak. Tatasusila diabaikan.
Persaingan untuk berebut simpati rakyat terjadi di mana-mana. Berebut harta benda, berebut kekuasaan. Yang banyak dukungan akan mendapat kemenangan. Semua ditemnpuh tanpa memperdulikan ajaran agama. Hukum agama dilanggar, yang penting tujuan tercapai. Tidak peduli nilai kemanusiaan maupun nilai kesusilaan. Pokoknya menang. Menghalalkan segala cara  (Machiavellian), agar menjadi penguasa.
Akeh janji ora ditetepi.
Akeh wong wani nglanggar sumpahe dewe.
Manungsa padha seneng nyalah.
Ora ngendahake hukum Allah.
Barang jahat diangkat-angkat.
Barang suci dibenci.
(Banyak janji tidak ditepati (janji pemilu). Banyak orang melanggar sumpahnya sendiri (korupsi). Orang-orang saling melempar kesalahan. Tak peduli akan hukum Allah. Yang jahat dijunjung-junjung. Yang suci dibenci.)
Namun Jangka Jayabaya juga meramalkan bahwa Jaman Kalabendu akan dapat dilalui dan bangsa Indonesia akan menemui Jaman Keemasan (Kalamukti) atau jaman Kertayoga. Yaitu jaman datangnya Ratu Adil atau Satriya Piningit atau Heru Cakra. Jaman di mana “… nora ana wong ngresula kurang …” (tidak lagi ada orang yang mengeluh kekurangan). Ratu adil tersebut akan mengajari hal-hal yang baik dan benar (mulang wruh marang bener luput) memerintah secara adil paramarta, tidak suka pada harta (adil paramarta, lumuh mring arta) karena sang Ratu memerintah semat-mata hanya demi kesejahteraan negara, dan keselamatan seluruh dunia (Karana Ratu mung amrih kartaning nagara, raharjaning jagad kabeh), rakyat senang hatinya, karena murah sandang murah pangan (marmane padha enak atine wong cilik dening murah sandang pangan). Tidak ada pencuri dan penjahat. Mereka semua bertobat, takut akan hukuman gaib Ratu Adil … (Tan ana durjana, dursila, padha tobat wedi wilating Ratu Adil …).
Dalam Serat Centini Ratu Adil yang akan memimpin bangsa Indonesia disebutkan “Kedhatone Sonyo Ruri, tegese sepi tanpa sarana apa-apa ora ana kara-kara” artinya bertempat tinggal di daerah yang sunyi sepi, tidak ada prasarana publik dan tidak ada problema apapun. Namun disamping merupakan sosok seorang pemimpin bangsa menurut HOS Tjokroaminoto Ratu Adil dapat pula merupangan wujud suatu sistem kenegaraan. Dikatakan Ratu Adil dapat merupakan “ … Sistem pemerintahan yang dijalankan  … yang mampu mengejawantahkan jiwa dan kemajuan politik dan ekonomi yang diangankan setiap orang.[7] Dalam semangat otonomi daerah, kiranya Ratu Adil dapat diharapkan ditemukan sebagai sosok pemimpin bangsa atau disempurnakan sebagai sistem pemerintahan (konstitusi) di Universitas Gajah Mada (UGM). Karena UGM terkenal sebagai universitas pedesaan yang sonyo ruri di mana Bung Karno dan Bung Hatta melalui pidato-pidatonya menaruh harapan besar agar dasar negara yaitu nilai-nilai Pancasila disemaikan. Yaitu nilai-nilai mutiara yang mampu mewujudkan negara sempuna (lanjutan dari negara paripurna) sebagai Jaman Keemasan Indonesia. Sebagai tokoh disebutkan dalam ramalan Jaya Baya Satria piningit tunjung putih semune pudhak kesungsang/pudhak sinumpet (ksatria tersembunyi yang dapat ditafsirkan sebagai tokoh/ baru bagaikan tokoh yang masih bersih, yang keindahan perangainya bagaikan bunga teratai putih yang wanginya seperti bunga pandan yang masih tersembunyi).[8]
Krisis akibat Keberagaman

Seberapa jauh kebenaran ramalan tersebut krisis yang terjadi memang perlu penalaran dan penangan yang serius demi keselamatan bangsa. Menurut Yudi Latif, krisis di Indonesia juga terjadi karena ada masalah pada pertautan politik dari keragaman budaya. Jika politik sebagai simpul pertautan itu rapuh, kekayaan warisan budaya Nusantara tidak bisa di ikat menjadi sapu lidi yang kuat, melainkan sekedar serpihan-serpihan lidi yang berserakan, mudah rapuh.[9]
Tentang kehidupan keberagaman atau multikultural bangsa Indonesia dalam sambutan Prof. Pdt. John Titaley, Th.D Rektor Universitas Kristen Satya Wacana di buku The Dancing Leader menuliskan “Di antara berbagai keragaman di Indonesia, keragaman agama adalah hal yang sangat menguras banyak tenaga, pikiran, harta dan bahkan nyawa anak bangsa. Generasi penerus bangsa ini tampak terjebak dalam penolakan keragaman. Berbagai tindakan dan perlakuan yang tidak menghargai keragaman dalam agama ini telah mencoreng wajah bangsa ini dari potret tamansari sebagaimana dikehendaki oleh para pendiri bangsa. .. Keragaman itu tidak perlu dihilangkan akan tetapi perlu dikembangkan bukan demi keragaman itu sendiri, akan tetapi bagi kebersamaan.”[10]
Hal itu tentunya tidak terlepas dari keberadaan gerakan radikal di kalangan umat Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia yang sedikit banyak juga berimbas pada kondisi keberagaman bangsa Indonesia lainnya yaitu dalam hal ras dan kesukuan. Untuk menghadapi krisis tersebut Yudi Latif mengatakan: “Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya, kita memerlukan lebih dari politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru. “where there is no vision, the people perish”.[11]
Komaruddin Hidayat sebagai representasi tokoh masyarakat Islam Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada sambutan dalam buku The Dancing Leader mengatakan Membunuh dan bunuh diri sangat terkutuk. Coba saja perhatikan. Semua doktri dan perintah dalam Islam selalu mengacu untuk membangun peradaban. Semua perintah yang vertikal buahnya adalah perintah untuk melayani dan membantu agenda besar kemanusiaan yang bersifat horizontal. Al Quran secara eksplisit menyatakan, orang yang rajin sembahyang, tetapi tidak peduli pada fakir miskin dan anak-anak yatim bahkan dicap sebagai bermain-main dan mendustakan agama”[12]
Memecahkan Masalah Krisis
Dari uraian di awal tulisan ini yaitu bahwa Pancasila adalah formulasi nilai-nilai yang mendasari perilaku bangsa Indonesiasebagai bangsa yang ramah tamah. Bangsa yang santun. Bangsa yang menghargai perbedaan. Bangsa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong sebagai nilai kebersamaan. Dasar dari semua sila Pancasila adalah “gotong-royong”, dasar dari semangat dan sistematika penyusunan UUD pun senafas dengan itu, yakni “kekeluargaan”.[13]
Apabila merujuk kembali ke  belakang sejarah tentang sikap para pemimpin Islam sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia tentang Pancasila, dalam hal sikap founding fathers tentang pencoretan 7 kata di Piagam Jakarta menjadi Pembukaan UUD 1945 Bung Hatta mengatakan: “… demi menjaga persatuan bangsa.”[14] “Kekecewaan sebagian pemimpin golongan Islam lebih merefleksikan masih menggeloranya semangat “politik identitas” yang pada umumnya lebih didefinisikan oleh ingatan pedih ke belakang, ketimbang visi ke depan. … kelapangan golongan Islam – untuk menerima pencoretan 7 kata itu memberi jalan kepada bangsa ini untuk memiliki konstitusi yang lebih ideal dan tahan banting.[15] Dengan telah diamandemennya UUD 1945 dan terbangunnya struktur dan fungsi (Struktural fungsional) lembaga-lembaga kenegaraan yang semakin demokratis dan akuntabel di era reformasi, termasuk penyelenggaraan pemilu, maka kondisi Negara Indonesia semakin mendekati apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
Maka masalah krusial krisis bangsa Indonesia adalah pada masalah kesatuan dan persatuan yang terkait dengan fungsi kebudayaan (cultural fungsional) di masyarakat. Dalam hal ini Azyumardi Azra yang juga representasi intelektual Islam mengatakanPancasila sebagai dasar negara dan garis haluan bersama dalam kehidupan bernegara bangsa Indonesia merupakan aktualisasi tekad bersama segenap warga untuk bersatu di tengah berbagai keragaman. Pancasila adalah deconfessional ideologi, ideologi yang tidak berbasis agama manapun. Sesuai dengan sila pertama, Ketuhanan yang Mahaesa, Pancasila adalah sebuah ideologi yang sesuai dan bersahabat dengan agama. … Pancasila adalah rahmat terselubung bagi bangsa Indonesia sebab Pancasila adalah religiously friendly ideology …”.[16]
Sedangkan solusi yang ditawarkan adalah melalui pendekatan pendidikan yang memecahkan masalah multikultural dan mampu memfasilitasi terbangunnya kesatuan dan persatuan bangsa yang kokoh. Dalam hal ini Azyumardi Azra, dalam The Dancing Leader mengatakan ”… kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subyek-subyek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama; … Perumusan dan implementasi pendidikan multikultural di Indonesia … bukan hanya menyangkut masalah isi pendidikan multikultural itu sendiri, tetapi juga mengenai strategi yang akan ditempuh; apakah misalnya dalam bentuk mata pelajaran terpisah, berdiri sendiri (separated), atau sebaliknya ”terpadu” atau terintegrasi (integrated). …, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan ”keikaan” di tengah ”kebinekaan” yang betul-betul aktual; tidak hanya sekedar slogan dan jargon. Dan, ini pada giliranya akan memperkuat aktualisasi Pancasila”.[17]
Kesimpulan
            Jadi masalah utama bangsa Indonesia adalah bagaimana memecahkan masalah krisis kebersamaan dalam kondisi multikultural atau masalah kesatuan dan persatuan dalam mewujudkan Bhineka Tunggal Ika. Karena ternyata sosialisasi nilai-nilai Pancasila sejak awal reformasi terabaikan dan justru nilai-nilai ideologi liberalisme-kapitalisme yang mengajarkan individualisme, konsumerisme serta ideologi sektarianisme agama Islam sebagai pecundangnya yang menganut kebenaran tunggal dan anti mutikulturalisme melalui gerakan radikalisme dan terorisme merajalela. Sehingga kerukunan dan kebersamaan bangsa jauh panggang dari api karena kesenjangan di masyarakat baik di bidang ekonomi maupun budaya tak terjembatani.
Solusi yang ditawarkan Azyumardi Azra untuk memecahkan masalah multikultural tersebut agar mampu memfasilitasi terbangunnya kesatuan dan persatuan bangsa yang kokoh adalah melalui pendekatan pendidikan. Dengan kurikulum pendidikan yang mencakup subyek-subyek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, strategi yang akan ditempuh, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan ”keikaan” di tengah ”kebinekaan” yang betul-betul aktual; tidak hanya sekedar slogan dan jargon. Dan, ini pada giliranya akan memperkuat aktualisasi Pancasila”.[18] Menciptakan pemerintah yang “… mulang wruh marang bener luput … adil paramarta, lumuh mring arta …karana .. mung amrih kartaning nagara, raharjaning jagad kabeh”, dan rakyat menjadi “… nora ana wong ngresula kurang marmane padha enak atine wong cilik dening murah sandang pangantan ana durjana, dursila …. Mewujudkan masyarakat kekeluargaan dan gotong-royong.





DAFTAR RUJUKAN
1. Azra, Azyumardi, ‘Jati Diri Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme’, dalam Sutanto, Yusuf (Ed.) The Dancing Leader, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2011. hal. 16-33.
2.  Azra, Azyumardi, ‘Isam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global’, PRISMA, Vol. 29, No. 4 Oktober 2010. hal. 83-91.
3. Dialog PRISMA, Vol. 29, No. 4 Oktober 2010, Siti Musdah Mulia: ‘Jadikan Agama sebagai Landasan Etis, Bukan Politis’. Hal. 92-101.
4. Feith, Herbert dan Castle, Lance, 1996. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.
5.  Wisnu Harimurti, Mutiara-mutiara Terpendam dari Jawa: 12 Serat dan Babat Warisan Orang Jawa,  IN AzNa Books, Yogyakarta, 2011.
6. Hasan, Noordin, ‘Ideologi, Identitas dan Ekonomi politik Kekerasan: Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia’, PRISMA, Vol. 29, No. 4 Oktober 2010. hal. 3-24.
7. Hashemi, Nader, “Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam Masyarakat Muslim”, terjemahan Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Januari 2011.
8. Kompas, Merajut Nusantara: Rindu Pancasila, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Oktober 2010.
9. Latif, Yudi, Negara Paripurna: Historisitas, Nasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta, 2011.
10. Latif, Yudi, Merawat Bayangan Kekitaan, Kolom| 30-03-2009  http://cetak. kompas.com/ read/ xml/ 2008/ 12/ 02/ 00164648/ merawat. bayangan. kekitaan.
11. Marwoto, M., Ramalan Jayabaya: Apa Relevansinya dengan ramalan Suku Maya, Pustaka Mahardika, Yogyakarta, 2011;
12. Prisma, Vol. 29, Oktober 2010, ‘Islam dan Dunia: Perjumpaan di Tengah Perbenturan’, LP3ES, Jakarta.
13. Sindhunata, “Krisis Kebudayaan Jawa”, Kompas, 10 Mei 1999.
14. Supriyanto, Kelik, Ramalan Sabdopalon, Memayu Publishing, Yogyakarta, 2010.
15. Susan, Novri, ‘Memperjuangkan Masyarakat Inklusif’, Kompas, 22 Februari, 2012.
16. Sutanto, Yusuf (Ed.) The Dancing Leader, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2011.
17. Triharso, Ajar, ‘Pendidikan Pancasila, pembangunan Karakter Bangsa (National and Caracter Building) Mewujudkan masyarakat Gotong Royong? Kembali ke Qitoh 1 Juni 1945!’, LITERASI, Vol. 3, No. 3, 2011.
18. Tri Puspaningsih, Ni Nyoman, Santoso, Listiono (eds.), Airlangga Caracter, Direktorat Pendidikan UA, 2012.
19. Yusuf Wijaya, Agus, H. Lc. (Ed.), Serumpun Bambu: Jalan Menuju Kerukunan Sejati, Pondok Pesantren Ngalah, 2006.

[1]Ni Nyoman Tri Puspaningsih, Listiono Santoso (eds.), Airlangga Caracter, Direktorat Pendidikan UA, 2012, hal. 9-12.

[2]Tentang ramalan Jayabaya: Kelik Supriyanto,  Ramalan Sabdopalon, Memayu Publishing, Yogyakarta, 2010; M. Marwoto, Ramalan Jayabaya: Apa Relevansinya dengan ramalan Suku Maya, Pustaka Mahardika, Yogyakarta, 2011; Wisnu Harimurti, Mutiara-mutiara Terpendam dari Jawa: 12 Serat dan Babat Warisan Orang Jawa,  IN AzNa Books, Yogyakarta, 2011.

[3]Sindhunata, “Krisis Kebudayaan Jawa”, Kompas, 10 Mei 1999.
[4]Dalam tulisan ini saya menyetujui dan memakai sebagai rujukan tulisan visioner Yudi Latif  tentang Pancasila. Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Nasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta, 2011, hal. 41.
[5]Yudi Latif, Ibid., hal. 48-49.
[6] Kelik Supriyanto, op.cit., hal. 61-93. ; M. Marwoto, op.cit., hal. 115-162.
[7]Kelik Supriyanto, Op. Cit., 106 dan 119.
[8]M. Marwoto,  op. cit., hal. 23.
[9] Yudi Latif, Op. cit., hal. xix.
[10] Yusuf Sutanto, (Ed.) The Dancing Leader, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2011, xxii-xxiii.
[11] Yudi Latif, Ibid., hal. 49.
[12] Yusuf, Sutanto, (Ed.), Ibid., hal. xviii.
[13] Yudi Latif, Op. cit., hal.  8.
[14] Yudi Latif, Op. cit., hal.  36.
[15] Yudi Latif, Op. cit., hal.   37.
[16] Kompas, Merajut Nusantara: Rindu Pancasila, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Oktober 2010,  hal. 9-12.
[17]Yusuf Sutanto, (Ed.), Ibid. ‘Jati Diri Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme’, hal. 31-32.
[18]Sebagai usaha elaborasi aktualisasi Pancasila melalui proses pendidikan dengan pendekatan pembangunan masyarakat (comdev.) baca Ajar Triharso, ‘Pendidikan Pancasila, Pembangunan Karakter Bangsa (Nation Building) dan Mewujudkan Masyarakat Gotong-royong? Kembali ke Qitoh 1 Juni 1945!’, Bab II naskah yang telah dikirimkan kepada Ketua MPR-RI, DPR-RI Komisi X, Presiden RI dan PSP UGM – Ajar Triharso, “Menyelamatkan Pancasila: Menyempurnakan Konstitusi Dengan Konvensi Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila (Dengan Dunia Pendidikan Sebagai Leading Sector Dan PT Sebagai Pelopor)”, Komisi Pengkajian/Pusat Studi Jatidiri Dan Kebangsaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Airlangga, 2011, dan Topik Utama  (1) dalam LITERASI, Vol. 3,No. 3, November 2011 diterbitkan Dewan Pendidikan Jawa Timur.

MAKANAN DAN MINUMAN AMERTA

November 16, 2010
AIRLANGGA, DEWA WISNU DAN BOGA AMERTA
Universitas Airlangga (UA) tentunya tidak lepas dari keberadaan Prabu Airlangga raja kerajaan Kahuripan dengan ibu kota di Ujung Galuh atau Surabaya. Prabu Airlangga merupakan pemimpin Indonesia pertama di mana dewa Wisnu menitis dalam rangka menyelamatkan dunia (jagad raya). Dalam ceritera epos Mahabharata dan Ramayana dikisahkan mitos tentang tiga serangkai dewa (trimurti) pembantu Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa (YMEK) atau Sang Yang Wenang yang mempunyai tugas berbeda di dalam mengelola proses perubahan (change) pembangunan (development) jagad raya. Yaitu dewa Brahma sebagai dewa yang bertugas dalam proses penciptaan (creator), dewa Siwa bertugas dalam proses perusakan (destroiyer) dan dewa Wisnu adalah dewa yang bertugas sebagai penjaga keberlanjutan dan keteraturan (continuity and order).
Dalam proses perubahan jagad raya tersebut umat manusia harus dilindungi dari sifat perusak dewa Siwa agar tidak “kebablasan” menuju kehacuran (disaster). Dewa Wisnu harus menyelamatkan jagad raya dari kerja dewa Siwa dengan Air Amerta (Amrita Woter). Sang Yang Wenang menciptakan Air Amerta atau air kehidupan (kahuripan) yang menjadikan sakti dan hidup abadi (eternal) bagi siapa yang meminumnya. Untuk itu dewa Wisnu harus mencari Air Amerta dan setelah berhasil, dengan naik burung Garuda diikuti dan berbagi tugas dengan istrinya Dewi Lakshmi atau di Indonesia di sebut Dewi Sri yang di kenal sebagai Dewi Padi (Goddess of Rice), datang ke Indonesia (Jawa Dwipa) yang terpilih menjadi bangsa yang kelak bertugas menyelamatkan jagad raya dengan menitis pada diri Prabu Airlangga sebagai pemimpin Indonesia waktu itu.
Dikisahkan air Amerta tersembunyi di dalam lautan susu Ksira (sea of milk) dan untuk memperolehnya lautan susu harus diaduk melalui kerjasama yang baik antara dewa Wisnu dengan makhluk-makhluk sahabat para dewa. Kesepakatan terjadi antara dewa Wisnu, raksasa Daitya dan ular naga Vasuki dengan memilih gunung Mandara sebagai belahan pengaduk. Untuk mengangkat gunung Mandara ke tepi laut Dewa Wisnu kemudian menjelma menjadi kura-kura raksasa bernama Akupa sedangkan naga Vasuki/Basuki bertugas sebagai tali pengaduk dan raksasa Daitya membantu mengaduknya.
 


Pengertian apa yang ada di balik mitos tersebut adalah ibarat seluruh IPTEK yang telah ditemukan di dunia sebagai lautan susu dan UA sebagai lembaga pemroses IPTEK nasional dengan nama besar Prabu Airlangga harus mampu meneruskan misi dewa Wisnu menemukan IPTEK ”sakti” bak Air Amerta agar bangsa Indonesia yang sudah mengikrarkan dalam Pembukaan UUD 1945 untuk menjadi penyelamat dunia yaitu “ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi dan keadilan sosial” (Alinea IV). IPTEK yang berdaya dan berhasil guna bagi pembangunan masyarakat Indonesia menuju bangsa dan negara yang “tata tentrem karta raharja” sebagai modal melaksanakan tugas globalnya “memayuhayuning buwana”.
Seperti diuraikan di muka tugas Dewi Sri adalah melengkapi tugas dewa Wisnu menyebarkan Air Amerta dengan fokus pada pengembangan makanan yaitu agar hasil petani dan nelayan Indonesia dapat menjadi Boga Amerta. Untuk itu dengan memakai kriteria kelembagaan LPPM–UA di antara sivitas akademika UA sudah terbentuk peer group ”sahabat dewa Wisnu” yaitu di RS Graha Amerta. Peer Group berikutnya adalah dalam rangka membantu dewi Sri menyiapkan ”makanan sakti” tersebut. Peer group yang berkembang dibawah vocasional interdisipliner dengan kompetensi di bidang boga yaitu D3 Pariwisata UA dan dibantu oleh jurusan-jurusan di UA dengan kompetensi terkait. Satu sama lain kemudian disinergikan serta diramu dengan penemuan-penemuan Dr. Gustavo serta Dr. Adamo untuk menjadi suatu unit usaha jasa di bidang boga.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About